Jumat, 20 Oktober 2017

Resume Hadis tentang Harta

Nama   :Indah Permatasari
NIM     : 931405016

Dosen Pengampu: Ana Fadilah,Lc,MA.
Hadist Harta
A.    Pengertian Harta
            Secara etimologi al-mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau berpaling dari tengah ke salah satu sisi, dan al-mal diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara,baik dalam bentuk materi maupun dalam bentuk manfaat.[1]
Dalam bahasa Arab disebut al-mal yang berarti condong,cenderung dan miring. Manusia cenderung ingin menguasai dan memiliki harta. [2]
Berdasarkan terminology ialah:
المال هو ما يميل اليه طبع الإنسان إدخاره الى وقة الحاجة
Harta adalah sesuatu yang digandrungi manusia dan dapat dihadirkan (dimanfaatkan) pada saat diperlukan. (Ibnu Abidin dari golongan Hanafi)
Golongan Hanafiyah mengaitkan definisi mal. Manfaat, menurut mereka masuk golongan milik, tidak masuk dengan golongan mal. Mereka membedakan antara mal dengan milik.
Milik adalah suatu yang dapat kita bertasarruf padanya secara ikthishash, tidak dicampuri orang lain. karenanya manfaat masuk ke dalam bagian milik. sedangkan mal, ialah segala yang dapat disimpan untuk dimanfaatkan diwaktu diperlukan.
Harta adalah sesuatu yang dapat disimpan dan dapat digunakan ketika dibutuhkan, dan dalam hal ini harta sebagai suatu hal yang berwujud (a’yan). Sedangkan harta menurut sebagian ulama ialah :
sesuatu yang diinginkan manusia berdasarkan tabiatnya, baik manusia itu akan memebrikannya atau akan menyimpannya.”
                        Dari hal ini diketahui bahwa suatu hal yang diinginkan oleh manusia berdasar naluri tabiat kemanusiaannya baik akan disimpan maupun akan dipergunakannya atau memberikannya. Sehingga dapat diketahui bahwa sebagian ulama berpandangan bahwa harta adalah sebagai suatu hal yang ingin dimiliki oleh manusia berdasarkan naluri tabiat kemanusiannya. Dan menurut sebagian ulama yang lain bahwa yang di maksud harta adalah :
segala zat (‘ain) yang berharga, bersifat materi yang berputar di antara manusia”.
                        Dengan pengertian ulama yang lain di atas dapat diambil sebuah ketetapan lain tentang pengertian harta adalah sebagai zat yang bersifat materi yang berputar dikalangan atau disekitar manusia dan dalam putarannya diiringi dengan sebuah interaksi. Materi yang dimaksud disini adalah sebagai materi yang bernilai dan mempunyai sifat yang dapat diputarkan diantara manusia.

B.     Fungsi Harta
1)      Kesempurnaan ibadah mahzhah, seperti shalat memerlukan kain untuk menutup aurat
2)      Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT sebagai kefakiran mendekatkan kepada kekufuran
3)      Meneruskan kelangsungan hidup agar tidak meninggalkan generasi lemah, sebagaimana firman Allah :
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Artinya : Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.(QS An Nisa ayat 9)
4)      Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat
5)      Untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu
6)      Untuk menumbuhkan silaturahmi
C.    Kedudukan Harta
            Sebuah hal yang terpenting yang harus diketahui dalam penggunaan harta adalah keduduakan harta, karena dalam hal ini sangat penting sekali agar nantinya tidak terjadi sebuah salah dalam penggunaan harta. Karena harta sangat berperan sekali dalam kehidupan manusia, hal itu terbukti bahwa di zaman yang modern ini sebuah harta mempunyai kedudukan yang sangat tinggi didalam interaksi dalam kehidupan.
Dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa harta merupakan perhiasan kehidupan dunia, firman Allah :
ۖالدُّنْيَاالْحَيَاةِزِينَةُ وَالْبَنُونَ الْمَالُ
Artinya : “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia..”(QS Al-Kahfi:46)
Pada ayat itu diterangkan bahwa kebutuhan manusia atau kesenangan manusia terhadap harta sama dengan kebutuhan manusia terhadap anak atau keturunan. Jadi salah satu kebutuhan yang mendasar bagi manusia adalah sebuah harta.
Berkenaan dengan harta didalam al-Qur’an dijelaskan juga larangan-larangan yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi, dalam hal ini meliputi: produksi, distribusi dan konsumsi harta[3]:
1.      Perkara-perkara yang merendahkan martabat dan akhlak manusia
2.      Perkara-perkara yang merugikan hak perorangan dan kepentingan sebagian atau keseluruhan masyarakat, berupa perdagangan yang memakai bunga.
3.      Penimbunanhartadenganjalankikir           
4.      Aktivitas yang merupakanpemborosan
5.      Memproduksi, memeperdagangkan, dan mengkonsumsi barang-barang terlarang                 seperti narkotika dan minuman keras.
D.    Pemberian Harta kepada Orang Lain
a.)       Hibah
1.         Pengertian Hibah
Secara etimologi hibah berarti pemberian atau hadiah. Pemberian ini dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah,tanpa mengharapkan balasan apapun.[4]
2.          Dasar hukum Hibah
Adapun dasar hukum hibah terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 177 :
..السَّبِيلِ وَابْنَ وَالْمَسَاكِينَوَالْيَتَامَىٰ الْقُرْبَىٰ ذَوِي حُبِّهِعَلَىٰالْمَالَوَآتَى..
Artinya : ...dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,orang-orang miskin dan orang musafir(yang memerlukan pertolongan)...(QS Al-Baqarah:177)
 Dan Nabi SAW bersabda :
                                                                                             ...تَحَابُّوْاتَهَادُوْا
                   Artinya : “Saling menghadiahilah kalian niscaya kalian akan saling                          mencintai.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 594,                                         dihasankan Al-Imam Al-Albani dalam Irwa`ul Ghalil no. 1601)
3.         Syarat dan Rukun Hibah
a.     Pemberi Hibah (Wahib)
Syarat-syarat pemberi hibah (wahib) adalah sudah baligh, dilakukan atas dasar kemauan sendiri, dibenarkan melakukan tindakan hukum dan orang yang berhak memiliki barang.
b.     Penerima Hibah (Mauhub Lahu)
Syarat-syarat penerima hibah (mauhub lahu), diantaranya :
Hendaknya penerima hibah itu terbukti adanya pada waktu dilakukan hibah. Apabila tidak ada secara nyata atau hanya ada atas dasar perkiraan, seperti janin yang masih dalam kandungan ibunya maka ia tidak sah dilakukan hibah kepadanya.
c.    Barang yang dihibahkan (Mauhub)
Syarat-syarat barang yang dihibahkan (Mauhub), diantaranya : jelas terlihat wujudnya, barang yang dihibahkan memiliki nilai atau harga, betul-betul milik pemberi hibah dan dapat dipindahkan status kepemilikannya dari tangan pemberi hibah kepada penerima hibah.
d.   Akad (Ijab dan Qabul), misalnya si penerima menyatakan “saya hibahkan atau kuberikan tanah ini kepadamu”, si penerima menjawab, “ya saya terima pemberian saudara”.
4.       Macam-macam Hibah
Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu :
a.    Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada tendensi (harapan) apapun. Misalnya  menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.
b.                Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan         harta atau barang yang dihibahkan itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah.
                   Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki                      hak guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu                            (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat                 juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu                                    tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.
5.      Hikmah Hibah
·         Menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama
·         Menumbuhkan sikap saling tolong menolong
·         Dapat mempererat tali silaturahmi
·         Menghindarkan diri dari berbagai malapetaka.
b.)    Sedekah
1.      Pengertian Sedekah
Secara etimologi kata sedekah berasal dari bahasa arab ash-shadaqah.
Pada awal pertumbuhan islam sedekah diartikah sebagai pemberian yang disunahkan.
Secara terminologi, sedekah diartikan sebagai pemberian seseorang secara ikhlas kepada yang berhak menerimanya yang diiringi oleh pemberian pahala dari Allah.[5]
2.      Dasar Hukum Sedekah
Adapun dasar hukum sedekah terdapat pada surah al-Qur’an ayat Ath-Thalaq ayat 5:
3.      Syarat Kesempurnaan Sedekah
1.    Tidak menyebut-nyebut shodaqoh yang telah diberikan.
pahala sedekah akan lenyap bila si pemberi selalu menyebut-nyebut sedekah yang telah ia berikan atau menyakiti perasaan si penerima.
2.    Sembunyi-Sembunyi.
Sembunyi-sembunyi adalah salah satu syaratnya. Hal ini bertujuan untuk menghindari sifat ria bagi para kaum muslimin yang bersedekah.
3.    Sedekah yang Disedekahkan merupakan Harta Terbaik.
Hal ini bertujuan untuk menghindari suatu barang/harta yang kita sedekahkan merupakan barang yang sudah tidak layak pakai bagi kita baru kemudian kita sedekahkan.
4.    Macam-macam Sedekah
a.    Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Untuk merealisasikan amar ma’ruf nahi mungkar, seseorang perlu mengeluarkan tenaga, pikiran, waktu, dan perasaannya. Dan semua hal tersebut terhitung sebagai shadaqah.
b.    Bekerja dan memberi nafkah sanak keluarganya
Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadits: Dari Al-Miqdan bin Ma’dikarib Al-Zubaidi ra, dari Rasulullah saw. berkata, “Tidaklah ada satu pekerjaan yang paling mulia yang dilakukan oleh seseorang daripada pekerjaan yang dilakukan dari tangannya sendiri. Dan tidaklah seseorang menafkahkan hartanya terhadap diri, keluarga, anak dan pembantunya melainkan akan menjadi shadaqah.” (HR. Ibnu Majah).
c.    Membantu urusan orang lain.
Dari Abdillah bin Qais bin Salim Al-Madani, dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau bersabda, “Setiap muslim harus bershadaqah.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana pendapatmu, wahai Rasulullah, jika ia tidak mendapatkan (harta yang dapat disedekahkan)?” Rasulullah saw. bersabda, “Bekerja dengan tangannya sendiri kemudian ia memanfaatkannya untuk dirinya dan bersedekah.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika ia tidak mampu, wahai Rasulullah saw.?” Beliau bersabda, “Menolong orang yang membutuhkan lagi teranaiaya.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika ia tidak mampu, wahai Rasulullah saw.?” Beliau menjawab, “Mengajak pada yang ma’ruf atau kebaikan.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika ia tidak mampu, wahai Rasulullah saw.?” Beliau menjawab, “Menahan diri dari perbuatan buruk, itu merupakan shadaqah.” (HR. Muslim).
5.    Hikmah Sedekah
·         Sedekah dapat menghapus dosa.
·         Orang yang bersedekah akan mendapatkan naungan di hari akhir.
·         Sedekah memberi keberkahan pada harta.
·         Allah melipat gandakan pahala orang yang bersedekah.
·         Terdapat pintu surga yang hanya dapat dimasuki oleh orang yang bersedekah.
c.)    Hadiah
1.    Pengertian hadiah.
Hadiah merupakan bukti rasa cinta dan bersihnya hati padanya ada kesan penghormatan dan pemuliaan, dan oleh karena itu Rasulullah SAW menerima hadiah dan menganjurka untuk saling memberi hadiah serta menganjurkan untuk menerimanya.
2.    Dasar hukum hadiah.
Adapun dasar hukum hibah terdapat dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah :
لَوْدُعِيْتُ اِلىَ زِرَاعٍ اَوْكُرَاعٍ لَاَجَبْتُ وَلَوْاُهْدِيَ زِرَا عٌ اَوْكُرَا عٌ لَقَبِلْتُ
Artinya:” sekiranya aku diundang makan sepotong kaki binatang, pasti akan aku penuhi undangan tersebut.begitu juga jika sepotong lengan atau kaki dihadiahka kepadaku, pasti aku akan menerimanya.” (HR.Al-Bukhari)
3.    Syarat-syarat hadiah
a)    Orang yang memberikan hadiah itu seghat akalnya dan tidak dibawah perwalian orang lain.
b)   Barang yang dihadiahkan harus bermanfaat bagi penerimanya.
4.    Hikmah hadiah
1)   Dapat menolong orang yang membutuhkan dan memererat silaturrahim diantara sesamanya.
2)   Dapat meredam murka Alloh atau menolak bencana dan menambah umur
3)   Memperoleh pahala yang mengalir terus
4)   Akan bertambah rizkinya
5)   Mengahapuskan kesalahan





          [1]Dr H. Nasrun Haroen MA, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama) hlm 73
          [2]Prof.Dr.H.Rachmat Syafe’i MA,Fiqih Muamalah ( Bandung:Cv Pustaka Setia) hlm 22
[3]Teungku Muhammad Habsi As-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah,PT Pustaka Rizki Putra:   Semarang, 2009,  hal. 137
          [4]Dr H. Nasrun Haroen MA, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama) hlm 82
          [5]Dr H. Nasrun Haroen MA, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama) hlm 88-89

Tidak ada komentar:

Posting Komentar