Rabu, 04 Oktober 2017

Wakalah dan Kafalah

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Wakalah
1.      Pengertian wakalah
Wakalah mempunyai beberapa pengertian dari segi bahasa , diantaranya adalah perlindungan (al-hifz), penyerahan (at-tafwid), atau memberi kuasa.Wakalah berasal dari wazan wakala-yakilu-waklan  yang berarti menyerahkan atau mewakilkan urusan sedangkan wakalah adalah pekerjaan wakil.[1]
Menurut Syara’, para ulama berbeda pendapat antara lain :
a)      Madzhab Malikiyah berpendapat bahwa al-wakalah adalah seseorang menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang mengelola pada posisi itu.
b)      Madzhab Hanafiyah berpendapat bahwa al-wakalah adalah seseorang menempati diri orang lain dalam tasharruf (pengelolaan).[2]
c)      Madzhab Syafi’iyah berpendapat bahwa al-wakalah adalah ungkapan atau penyerahan kuasa (al-muwakkil) kepada orang lain (al-wakil) supaya melaksanakan sesuatu dari jenis pekerjaan yang bisa digantikan (an-naqbalu an-niyabah) dan dapat di lakukan oleh pemberi kuasa. Dengan ketentuan pekerjaan tersebut dilaksankan pada saat pemberi kuasa masih hidup.[3]
d)     Madzhab hanabali berpendapat bahwa al-wakalah adalah permintaan ganti seseorang yang membolehkan tasharruf yang seimbang pada pihak lain, yang di dalamnya terdapat penggantian dari hak-hak Allah dan hak-hak manusia.[4]

2.      Landasan  Hukum Wakalah
Wakalah disyariatkan berlandaskan Al-Quran, Al sunnah dan ijma’.
a.       Landasan berdasarkan Al-Quran antara lain sebagai berikut :
a)      Firman Allah dalam surah Al-kahfi ayat 19 :
“Dan demikianlah Kami bangunkan mereka, agar di antara mereka saling bertanya. Salah seorang di antara mereka berkata, Sudah berapa lama kamu berada (di sini)? Mereka menjawab, Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari. Berkata (yang lain lagi), Tuhanmu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, dan bawalah sebagian makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan jangan sekali-kali menceritakan halmu kepada siapa pun."
b)      Firman Allah dalam surah An-Nisa’ ayat 35 :
"Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti."
c)      Firman Allah dalam surah Yusuf ayat  93 :
"Pergilah kamu dengan membawa bajuku ini, lalu usapkan ke wajah ayahku, nanti dia akan melihat kembali; dan bawalah seluruh keluargamu kepadaku."
d)     Firman Allah dalam surah Yusuf ayat 55:
"Dia (Yusuf) berkata, Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan."

b.      Landasan berdasarkan Al-Sunnah antara lain sebagai berikut :
a)      Hadits Riwayat  Malik :
 “ Bahwasanya  Rasulullah saw mewakilkan kepada Abu Rafi’i dan seorang Anshar untuk mewakili mengawani maimunah binti al-Harits.[5]
b)      Riwayat Abu Burdah :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al ‘ Alaa’ telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari buraid bin ‘Abdullah dari Abu Burdah dari Abu Musa dari  Nabi Shallahu ‘ alaihi wasallam bersabda : “ Seorang bendahara yang amanah, yang dia melaksanan tugasnya (dengan baik)” –  Dan adakalanya  beliau bersabda “ Yaitu yang dia melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya dengan sempurna dan jujur serta memiliki jiwa lapang dada, yang dia mengeluarkannya (shadaqqah) kepada orang yang berhak sebagaimana diperintahkan  adalah termasuk salah satu dari Al Mutashaddiqin.”[6]
c)      Hadis Riwayat Jabir :
“ Jabin bin Abdillah r.a berkata, Aku hendak berangkat ke Khaibar, lalu aku menemui Nabi Saw. Beliau bersabda : “ Jika engkau menemui wakil ku di Khaibar, ambil lah olehmu darinya lima belas wasaq”.[7]
c.       Ijma’
Para ulama sepakat dengan ijma’,  bahwa wakalah diperbolehkan . mereka bahkan cenderung mendunnahkan dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan jenis Ta’awun  (tolong menolong) atas dasar kebaikan dan takwa. Tolong menolong diserukan oleh al-Quran dan di sunnahkan oleh Rosul.
Hal tersebut sebagaimana Firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat 2 “.. Dan tolong menolong lah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pemusuhan....”
Sabda Rasulullah :
“ Dan Allah menolong hamba Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim” (HR. Muslim)

3.      Rukun Dan Syarat Wakalah
a.       Rukun Wakalah
Menurut kalangan Hanafiyah rukun wakalah ada 2 yaitu :
1)      Ijab berarti ucapan atau tindakan dari orang yang mewakilkan.
2)      Kabul berarti ucapan dari orang yang menerima atau wakil.
Sedangkan menurut mayoritas ulama selain Hanafiyah rukun wakalah ada empat yaitu :
1)      Orang yang mewakilkan (muwakkil).
2)      Orang yang menerima perwakilan (wakil).
3)      Objek atau pekerjaan yang diwakilkan (muwakkil bih).
4)      Ijab dan Kabul (sighah).[8]
b.      Syarat-syarat Wakalah
1)      Orang yang mewakilkan adalah orang yang sah menurut hukum.
2)      Pekerjaan yang diwakilkan harus jelas. Tidak boleh mewakilkan pekerjaan kepada orang lain yang tidak jelas.
3)      Tidak boleh mewakilkan dalam hal ibadah karena ibadah menuunutut dikerjakan badabiyah dan dilakukan sendiri ( shalat, puasa, dan membaca ayat alqur’an). Hal yang boleh diwakilkan  ( ibadahhaji, membagi zakat dan sebagainya)
c.       Berakhirnya akad Wakalah
1)      Al-Faskh (pembatal kontrak)
Sebagiman di ats bahwa al wakalah adalah jenis kontrak ja’iz min at-trafayn, yakni bagi kedua pihak berhak mambatalkan ikatan kontrak, kapapun mereka menghendaki.
2)      Cacat kelayakan tasharruf-nya
Yakni ketika salah satu dari kedua belah pihak mengalami gila, ditetapkan safih (cacat kerena menyia-yiakan harta) atau falas (cacat karena harta tidak setimpal dengan beban hutang). Atau karena mengalami kematian, baik diketahui pihak lain atau tidak.
3)      Hilangnya status kepemilikan atau hak dari pemberi kuasa (al-muwakkil)
Hal ini terjadi ketika al-muwakkil semisal menjual sepeda motor yang dikuasakan kepad al-wakil untuk disewakan.[9]

4.      Macam-macam Wakalah
a.       Wakalah al-khassah
Wakalah dimana pemberian wewenang untuk menggantikam sebuah posisi pekerjaan yang bersigat spesifik. Dan telah dijelaskan secara mendetail segala sesuatu yang berkaitan dengan apa yang diwakilkannya, seperti mengirim barang berupa pakaian atau menjadi advokat untuk menyelesaikan kasus tertentu.
b.      Al-Wakalah  al-ammah
Akad wakalah dimana pemberian wewenang bersifat umum, tanpa adanya penjelasan yang rinci. Seperti belikan aku komputer apa saja kamu temui
            Selain itujuga dibedakan atas al-wakalah al-muqqayadah dan al-wakallah mutlaqah yaitu :
1)      Al-wakalah al-muqqayadah ad
Akad wakalah dimana wewenang dan tindakan si wakil dibatasi dengan syarat-syarat tertentu. Misalanya jualan mobil dengan harga 100 juta jika kontan dan 150 juta jika kredit.
2)      Al-wakalah al-mutlaqah
Akad wakalah dimana wewenang dan wakil tidak dibatasi dengan syarat atau kaidah tertentu, misalnya jualan mobil ini, tanpa menyebutkan harga yang diinginkannya.

5.      Hikmah Wakalah
Hikmah yang diperoleh dari wakalh antara lain sebagai berikut :
a)      Mengajarkan prinsip tolong menolong antara satu dengan lainnya untuk tujuan kebaikan, bukan untuk kejahatan atau kemaksiatan
b)      Mengajarkan kepad manusia untuk merenungi bahwa hidup ini tidak sempurna. Dalam memenuhi kebutuhannya, tidak semua pekerjaandpat dilakukan atau diselesaikan sendiri. Oleh sebab itu manusia perlu mewakilkan kepada orang lain.
c)      Memberikan kesempatan bagi orang lain untuk melakukan sesuatu sehingga mengurangi pengangguran.

6.      Implementasi Wakalah dalam Lembaga keuangan Syariah
Wakalah dalam praktik di LKS biasanya terkait dengan akad lain yang dilakukan oleh nasabah. Misalnya dalam akad pembiayaan murahabah, pihak LKS mewakili kepada nasabah untuk mencari barang yang akan dibeli dengna pembiayaan tersebut.  Begitu juga dalam akad salam, istisna, ijarah dan akad lainnya yang menuntut adanya perwakilan pihak LKS oleh nasabah.
Selain praktik wakalah diatas, di Lembaga keuangan Syariah umumnya ada jenis-jenis produk pelayanan jasa yang menggunakan akad wakalah antara lain L/C (letter of credit) , transfer, kliring, RTGS, inkaso dan pembayaran gaji.[10]
a.       Kirman Uang (transfer)
Pelayanan jasa kiriman uang merupakan bentuk pelayanan jasa yang diberikan oleh bank atas permintaan nasabah untuk mengirimkan sejumlah uang tertentu.
Dilihat dari nominalnya, kiriman uang dibedakan menjadi dua jenis :
1)      Kiriman uang dengan nominal kecil. Trasfer dengan nominal yang nilainya kurang dari Rp. 100.000.000. trasfer ini dapat dilakukan melalui lembaga kliring setempat atau melalui RTGS (real time gross settlement), yaitu transfer dengan sistem elektronik
2)      Kiriman uang dengan nominal besar, transfer dengan jumlah nominal Rp. 100.000.000 atau lebih, maka pelaksanaan trasfer melalui RTGS (real time gross settlement). RTGS merupakan kegiatan pengiriman uang melalui sistem elektronik yang telah di siapkan oleh Bank Indonesia. Transfer sejumlah besar tidak boleh dilakukan melalui lembaga kliring setempat.[11]
b.      Kliring
Kliring adalah pertukarang warkat atau Data Keuangan Elektronik (DKE) antar peserta kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah peserta yang perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu.[12]
c.       Inkaso
Adalah pemberian kuasa pada bank oleh perusahaan atau perorangan untuk menagihkan, atau memintakan persetujuan pembayaran (akseptasi) atau menyerahkan begitu saja kepada pihak yang bersangkutan (tertarik) ditempat lain (dalam atau kuar negeri) atas surat-surat berharga, dalam rupiah atau valuta asing seperti wesel, cek, kuitansi, surat aksep (promossory notes) dan lain-lain.[13] Bentuk wakalah dalam inkaso adalah adanya otoritas oleh pihak tertentu kepada pihak bank untuk melakukan penagihan. Artinya bank mewakili pihak yang memberikan perwakilan kepadannya.
d.      Intercity Clearing
Merupakan sarana penagihan antar warkat maupun surat berharga yang diterbitkan oleh bank yang berasal dari luar wilayah kliring.[14]
e.       Letter of Credit
Letter of credit dapat didefinisikan sebagai jaminan bersyarat yang diberikan oleh bank yang menerbitkan L/C untuk membayar wesel yang di tarik oleh beneficiary sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam L/C dan mengacu pada UCP 600. Letter of credit adalah jasa bank yang diberikan kepada masyarakat untuk memperlancar pelayanan arus barang, baik arus barang dalam negri maupun keluar negeri. L/C juga merupakan dengan documnetary credit.[15] Bentuk wakalh dalm model operasional seperti ini adalah nasabah mewakilkan kepada bank untuk bertindak atas nama nasabah dalam penyimpanan dana dan mendatangkan barang yang dipesan nasabah.
f.       Payment
Merupakan pelayanan jasa yang diberikan oleh bank dalam melaksanakan pembayaran untuk kepentingan nasabah. Bank akan mendapat fee atas pelayanan jasa yang diberikan. Beberapa pelayanan jasanya adalah :
1)      Pembayaran telpon
2)      Pembayran rekening
3)      Pembayaran [ajak dan lain sebagainya8


B.     Al-Kafalah
1.      Pengertian Kafalah
Menurut Bahasa Al-Kafalah secara etimologi berarti الضمان  (jaminan)[16], الحمالة (beban), dan الزعامة (tanggungan). Kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.
Menurut syara’ yaitu :
a)      Menurut Madzhab Syafi’I Al-Kafalah adalah “akad yang menetapkan iltizam hak yang tetap pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda yang dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya.[17]
b)      Menurut Madzhab Maliki Al-Kafalah adalah “Orang yang mempunyai hak mengerjakan tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri yang disatukan, baik menanggung pekerjaan yang sesuai (sama) maupun pekerjaan yang berbeda.[18]
c)      Menurut Madzhab Hanafi Kafalah memiliki dua makna, yaitu pertama, kafalah berarti menggabungkan dzimah kepada dzimah yang lain dalam penagihan dengan jiwa, utang atau zat benda, dan kedua kafalah berarti menggabungkan dzimah kepada dzimah yang lain dalam pokok (asal) utang.[19]
d)     Menurut Madzab Hanbali kafalah dengan iltizam, sesuatu yang di wajibkan kepada orang lain serta kekekalan benda tersebut yang di bebankan atau iltizam orang yang mempunyai hak menghadirkan dua harta (pemiliknya) kepada orang yang mempunyai hak.[20]
2.      Landasan Hukum Kafalah
a.       Al-Qur’an.
Dasar hukum untuk akad memberi kepercayaan ini dapat dipelajari dalam Al-Qur’an pada bagian yang mengisahkan Nabi Yusuf.
قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَآءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ {72}
Artinya : Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya". (Q.S. Yusuf : 72).
 Dalam tafsir Aisarut Tafasir disebutkan bahwa Para pembantu raja menjawab, "Kami sedang mencari bejana tempat minum raja. Kami akan memberikan hadiah bagi orang yang menemukannya berupa makanan seberat beban unta." Pemimpin mereka pun menyatakan dan menegaskan hal itu dengan berkata, "Aku menjamin janji ini." Ibnu Abbas berkata bahwa yang dimaksud dengan za’im dalam ayat ini adalah kafiil penjamin.
b.      Al-Hadits
Jabir bin Abdullah ra. Berkata:
وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: ( تُوُفِّيَ رَجُلٌ مِنَّا, فَغَسَّلْنَاهُ, وَحَنَّطْنَاهُ, وَكَفَّنَّاهُ, ثُمَّ أَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقُلْنَا: تُصَلِّي عَلَيْهِ? فَخَطَا خُطًى, ثُمَّ قَالَ: أَعَلَيْهِ دَيْنٌ? قُلْنَا: دِينَارَانِ، فَانْصَرَفَ, فَتَحَمَّلَهُمَا أَبُو قَتَادَةَ، فَأَتَيْنَاهُ, فَقَالَ أَبُو قَتَادَةَ: اَلدِّينَارَانِ عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أُحِقَّ اَلْغَرِيمُ وَبَرِئَ مِنْهُمَا اَلْمَيِّتُ? قَالَ: نَعَمْ, فَصَلَّى عَلَيْهِرَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ
Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya. Kemudian kami mendatangi Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan kami tanyakan: Apakah baginda akan menyolatkannya?. Beliau melangkan beberapa langkah kemudian bertanya: "Apakah ia mempunyai hutang?". Kami menjawab: Dua dinar. Lalu beliau kembali.Maka Abu Qotadah menanggung hutang tersebut. Ketika kami mendatanginya; Abu Qotadah berkata: Dua dinar itu menjadi tanggunganku. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Betul-betul engkau tanggung dan mayit itu terbebas darinya." Ia menjawab: Ya. Maka beliau menyolatkannya. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits ini dari Salamah bin al-Akwa’ dan disebutkan bahwa utangnya tiga dinar.Di dalam riwayat Ibn Majah dari Abu Qatadah, ia ketika itu berkata, “Wa anâ attakaffalu bihi (Aku yang menanggungnya).” Di dalam riwayat al-Hakim dari Jabir di atas terdapat tambahan sesudahnya: Nabi bersabda kepada Abu Qatadah, “Keduanya menjadi kewajibanmu dan di dalam hartamu sedangkan mayit tersebut terbebas?” Abu Qatadah menjawab, “Benar.” Lalu Nabi saw. menshalatkannya. Saat bertemu Abu Qatadah Rasul saw. bertanya, “Apa yang telah dilakukan oleh dua dinar?” Akhirnya Abu Qatadah berkata, “Aku telah membayar keduanya, ya Rasulullah.” Nabi saw. bersabda, “Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya.” (HR al-Hakim).[21]
3.      Hikmah
Kafalah ( jaminan) merupakan salah satu ajaran Islam. Jaminan pada hakikatnya usaha untuk memberikan kenyamanan dan keamanan bagi semua orang yang melakukan sebuah transaksi. Untuk era sekarang ini kafalah adalah asuaransi. Jaminan atau asuaransi telah disyariatkan oleh Islam ribuan tahun silam. Ternyata, untuk masa sekarang ini kafalah (jaminan) sangat penting, tidak pernah dilepaskan dalam bentuk transaksi seperti uang apalagi transaksi besar seperti bank dan sebagainya. Hikmah yang dapat diambil adalah kafalah mendatangkan sikap tolong menolong, keamanan, kenyamanan, dan kepastian dalam bertransaksi. Wahbah Zuhaily mencatat hikmah tasry dari kafalah untuk memperkuat hak, merealisasikan sifat tolong menolong, mempermudah transaksi dalam pembayaran utang, harta dan pinjaman. Supaya orang yang memiliki hak mendapatkan ketenangan terhadap hutang yang dipinjamkan kepada orang lain atau benda yang dipinjam.[22]
4.       Rukun dan Syarat al-Kafalah.
Adapun rukun kafalah sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa lileratur fikih terdiri atas:
1)      Pihak penjamin/penanggung (kafil, dhamin, za’im), dengan syarat baligh(dewasa), berakal sehat, berhak penuh melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya, dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.
2)      Pihak yang berhutang/yang dijamin (makful 'anhu, 'ashil, madhmun’anhu), dengan syarat sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin dan dikenal oleh penjamin.
3)      Pihak yang berpiutang/yang menerima jaminan (makful lahu, madhmun lahu),dengan syarat diketahui identitasnya, dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa, dan berakal sehat.
4)      Obyek jaminan (makful bih,madhmun bih),merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang (ashil), baik berupa utang, benda, orang maupun pekerjaan, bisa dilaksanakan oleh pejamin, harus merupakan piutang mengikat (luzim) yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan, harus jelas nilai,jumlah, dan spesifikasinya, tidak bertentangan dengan syari'ah (diharamkan).
5)       Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz ijab dan kabul itu berarti menjamin.
6)      Tidak bertentangan dengan syariat Islam.[23]

5.      Macam-Macam Kafalah
a.       Kafalah Bi Al-Mal, adalah jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang. Bentuk kafalah ini merupakan sarana yang paling luas bagi bank untuk memberikan jaminan kepada para nasabahnya dengan imbalan/fee tertentu.
b.      Kafalah Bi An-Nafs, adalah jaminan diri dari si penjamin. Dalam hal ini, bank dapat bertindak sebagai Juridical Personality  yang dapat memberikan jaminan untuk tujuan tertentu.[24]
c.       Kafalah Bi At-Taslim, adalah jaminan yang diberikan untuk menjamin pengembalian barang sewaan pada saat masa sewanya berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk keperluan nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan, leasing company. Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan, dan pihak bank diperbolehkan memungut uang jasa/fee  kepada nasabah tersebut.
d.      Kafalah Al-Munjazah, adalah jaminan yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu dan untuk tujuan/kepentingan tertentu. Dalam dunia perbankan, kafalah model ini dikenal dengan bentuk performance bond  (jaminan prestasi).
e.        Kafalah Al-Mu’allaqah, Bentuk kafalah ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munjazah, di mana jaminan dibatasi oleh kurun waktu tertentu dan tujuan tertentu pula.[25]

6.      Kebolehan dan Batas Tanggung Jawab Penanggung (Kafil)
Hukum Kafalah (menanggung seseorang) adalah boleh apabila orang yang ditanggung memiliki tanggung jawab atas hak Adami (menyangkut hak manusia).Misalnya menanggung orang yang mendapat hukuman Qishas. Hukuman itu merupakan tanggung jawab yang hampir sama dengan tanggung jawab atas harta benda. Maksud menanggung disini adalah, menanggung orangnya agar tidak melarikan diri menghindari hukuman, bukan menanggung hukuman atas orang itu.
Rounded Rectangle: Nasabah mitra, pengelola investasi, pembeli, penyewa
Instrumen penyaluran dana lain yang dibolehkan
Menanggung orang yang dihukum, akibat dosa terhadap hak Allah SWT yaitu hudud tidaklah sah.Hudud adalah sanksi terhadap suatu kemaksiyatan yang telah ditetapkan kadarnya oleh syara’ guna mencegah kemaksiyatan yang serupa.Misalnya, dihukum karena berzina, homoseksual, menuduh berzina, meminum khamar, murtad, pembegal, dan mencuri.Bahkan kita diperintahkan untuk menghalangi perbuatan-perbuatan tersebut serta memberantasnya sekuat tenaga. Nabi Saw., bersabda :“Tidak ada kafalah dalam had” (HR. Al-Baihaqi)
Jika orang yang ditanggung (yang akan dihukum) meninggal dunia, orang yang menanggung tidak dikenai hukuman hudud , seperti apa yang sedianya akan dijatuhkan kepada orang yang ditanggung. Ia tidak harus menggantikannya sebagaimana kalau menanggung harta benda.[26]

7.      Pembayaran Kafil (Orang Yang Menjamin)
Apabila orang yang menjamin (dhamin/kafil) memenuhi kewajibannya dengan membayar hutang orang yang ia jamin, dan pembayaran itu atas perintah/izin makful ‘anhu. Maka ia boleh meminta kembali uang dengan jumlah yang sama kepada orang yang ia jamin (makful ‘anhu). Dalam hal ini keempat imam madzhab bersepakat.
Namun mereka berbeda pendapat, apabila penjamin (kafil) sudah membayar hutang/beban orang yang ia jamin (makful ‘anhu) tanpa perintah/izin orang yang dijamin. Menurut as-Syafi’i dan Abu Hanifah bahwa membayar hutang orang yang dijamin tanpa izin darinya adalah sunnah, penjamin (kafil) tidak punya hak untuk minta ganti rugi kepada orang yang dijamin (makful ‘anhu). Contohnya seperti kasus Abu Qatadah ra.yang membayar hutang si mayit. Menurut Mazhab Maliki, penjamin (kafil) berhak menagih kembali kepada orang yang dijamin (makful ‘anhu).Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafil/dhamin tidak berhak menagih kembali kepada orang yang dijamin (makful ‘anhu) atas apa yang telah dia bayarkan, baik dengan perintah/izin makful ‘anhu maupun tidak. Kecuali orang yang dijamin meminta diqardhunkan (aqad hutang ke penjamin). Dan itu berarti si penjamin boleh menagih kembali atas apa yang dia bayarkan.[27]

8.      Penerapan al-Kafalah dalam Perbankan Syariah
Dalam mekanisme system perbankan prinsip-prinsip kafalah dapat diaplikasikan dalam bentuk pemberian jaminan bank dengan terlebih dahulu diawali dengan pembukaan fasilitas yang ditentukan oleh bank atas dasar hasil analisa dan evaluasi dari nasabah yang akan diberikan fasilitas tersebut. Fasilitas kafalah yang diberikan akan terlihat pada perkiraan administratif baik berupa komitmen maupun kontinjen.
Fasilitas yang dapat diberikan sehubungan dengan penerapan prinsip kafalah tersebut adalah fasilitas bank garansi dan fasilitas letter of credit. Fungsi kafalah adalah pemberian jaminan oleh bank bagi pihak-pihakyang terkait untuk menjalankan bisnis mereka secara lebih amandan terjamin, sehingga adanya kepastian dalam berusaha/bertransaksi, karena dengan jaminan ini bank berarti akan mengambil alih risiko/kewajiban nasabah, apabila nasabah wanprestasi/lalai dalam memenuhi kewajibannya.
Pihak bank sebagai lembaga yang memberikan jaminan ini, juga akan memperoleh manfaat berupa peningkatan pendapatan atas upah yang mereka terima sebagai imbalan atas jasa yang diberikan, sehingga akan memberikan kontribusi terhadap perolehan pendapatan mereka.[28]




[1] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (surabaya: Pustaka Progresif, 1997) hlm. 1579
[2] Abdurrahman al-Jazairi, Al-Fiqh ‘ ala mazahib al-Arba’ah, hlm. 167
[3] Helmi Karim, Fiqh Muamalah (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Cet. III, 2002), hlm. 20
[4] Abdurrahman al-Jazairi, Al-Fiqh ‘ ala mazahib al-Arba’ah, hlm 168
[5] Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin al-Dahak al-turmudzi, salam al Turmudzi, (Digital Library, al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani, 2005), V/180 hadis nomor 1303.
[6] Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2016) hlm. 209
[7] Ibid. Hlm. 209
[8] Yahya bin Syarf al_Nawawi, Raudah al-Talibin wa Umdah al-Muftin, (Digital  Library, al-Maktabah al-Syamilah al-isdar al-Sani, 2005), II/90-91.
[9] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010) hlm. 234-235
[10] Ascarya, Akad dan produk Bank Syariah, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 105
[11] Ismail, Perbankan Syariah ( Jakarta: Kencana, 2011). Hlm 196
[12] Bank Indonesia, Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia, Tt. Hlm. 3
[13] Ismail, Perbankan Syariah. Hlm. 197
[14] Ibid. Hlm. 197
[15] Ibid, hlm. 200
[16]Sayyid sabiq, fiqh sunnah (Beirut:dar al-kitab al arabiyyah,1973),III/283
[17] ‘abd al-rahman al-juzayri, kitab al-fiqh ‘ala al-madzahib al-arba’ah (Beirut:dar al-fikr,1996), III/188
[18] Ibid, 190
[19] Ibid , 191
[20] Ibid 191
[21] Al-hafidh ibn hajar al-asqolani,bulughul marom min adillatil ahkam (Jeddah:al-harmain.)hal 186
[22] Muhammad syafi’i Antonio, bank syariah wacana ulama dan cendikiawan (Jakarta:tazkia institute.1999)hal 232
[23] Wahabbah al-zuhaily , al-fiqh al-islami wa adillathuhu,jilid IV (Beirut:darul fiqri,2005)
[24] Hendi suhendi, fiqh muamalah (Jakarta: PT Raja grafindo persada 2010) hal 98
[25] Abdullah alwi haji hasan, sales and contracts early Islamic commercial law (new delhi:kitab bhayan 2006) hal 144
[26] Muhammad syafi’I Antonio, bank syariah dari teori ke praktik (Jakarta:gema insani 2001)hal 123
[27] Op.cit al-hafidh ibn hajar al-asqalani,hal187

Tidak ada komentar:

Posting Komentar